Sejak persoalan sampah di Kota Yogyakarta yang belum terselesaikan, maka sekolah mengambil kebijakan “zero sampah”. Mengelola sampah secara konvensional, ternyata sampah cukup membebani beban biaya sekolah yang lumayan besar. Apalagi, sekolah telah memiliki mahkota sebagai sekolah adiwiyat. Maka beban makin berat.
Pengambilan kebijakan yang tidak popular ini, diangkat tak lain sebagai pembelajaran. Jargon yang cukup menyakitkan, namun sekaligus sebagai obat adalah “sampahmu tanggungjawabmu”. Salah satu upaya dari lahirnya dari garis Haluan adalah semua warga sekolah supaya membawa tumbler dan tempat makan.
Perlahan tapi pasti, sedikit demi sedikit warga kami mematuhi kearifan Bersama ini. Tempat makanan dan tumbler menjada barang bawaan setiap hari. Apakah harus tumbler? Tidak, Intinya tempat minum.
Tumbler atau botol minuman sebagai alat untuk membawa stok air minum. Dalam perjalanan waktu, tumbler tidak hanya sekedar sebagai alat, namun telah bertransformasi menjadi symbol gaya hidup masyarakat urban. Tumber menjadi garis pembatas status sosial, dan pemerhati sekaligus pelaksana lingkungan.
Kedua, dengan membawa tumbler lebih hemat. Membawa air minum dari rumah dengan tujuan untuk menemani bekarja, akan terasa hemat dan dijamin higienis. Karena airnya masak. Bandingkan kalau membeli air minum kemasan. Air yang dipanasi sampai masak, tentu lebih sehat.
Kini, ternyata tumbler tidak hanya berfungsi sebagai penampung air minum, tapi juga sebagai simbul gaya hidup. Tumbler yang sederhana harganya berkisar lima puluh ribu rupiah. Karena termakan gaya hidup, maka menjinjing tumbler bermerek Hydroflask yang dibandrol dengan harga Rp600.000 – Rp700.000. Untuk merek Stanly dipatok dengan harga Rp400.000 – Rp500.00.
Sejarah tumbler bermula dari ditemukannya botol kaca untuk menyimpan bahan kimia tahun 1892. Tahun 1906 muncul merek Thermos yang dirancang untuk menjaga suhu. Di Indonesia, apapun bentuk dan merek untuk penyimpanan air di tabung kaca, tetap dinamakan thermos.
Leave a Comment