Di Malang ada Peluang

Malang, Probolinggo, Jember, adalah sebuah contoh daerah yang mampu menggeliat dalam situasi covid-19. Mereka berhijrah dari suasana kepasrahan menuju kebangkitan. Virus bukanlah penghalang untuk melangkah dari keterpurukan. Tiga daerah itu patut dicontoh dalam menggalang bidang ekonomi dan pendidikan, meskipun masih diselimuti covid-19. Demikian kata Prof. Didik Junaidi Rachbini, M.Sc. P.Jd. dalam sebuah podcastnya Akbar Faisal.
Ucapan itu bukanlah isapan jempol. Dapat dibuktikan dengan ghirahnya pendidikan. Entah kualitasnya yang cukup signifikan,  ataukah kuantitasnya yang ditunjukkan dengan melek literasinya. Hal ini memang dipicu adanya kegiatan ekonomi, terutama dengan maraknya UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah. Prof. Didik yang sekarang memangku Rektor Universitas Paramadina, dan seorang politisi, dalam pengamatan sekilas, karena mayarakat setempat tak mau berpangku tangan. Bahwa ekonomi memang menjadi bola billard yang ketika disodok untuk pertama kalinya, akan lari sesuai dengan sudut reaksinya. Namun demikian, ranah pendidikan akan selalu bergulir sesuai dengan itikad asas manusia “ingin tahu segalanya”.
Ada persamaan Malang dan Yogyakarta yang telah sebagai kota pendidikan. Padahal, untuk mendapatkan predikat Kota Pendidikan ini, Kota Malang tidak mendapatkanya secara cuma-cuma. Ada benang merah historis yang melengkapi perjalanan sejarah pendidikan kota ini.
Pada zaman penjajahan kolonial Belanda, Indonesia memiliki beberapa pusat pendidikan yang cukup mentereng, yang dianggap maju oleh pribumi dan orang Belanda, yaitu Kota Malang dan Yogyakarta.

Kota Malang yang memiliki luas 110,6 km persegi, 5 kecamatan dan 57 kelurahan. Jumlah SMP, dua kali lipat dari SMP di Kota Yogyakarta. Dilihat dari demografinya saja sudah berbeda meskipun ada sedikit persamaannya.
Bapak Suwarjana, SE, MM. sebagai Kepala Dinas Pendidikan mengakui banyak perbedaan. Ada dua permasalahan yang membuat cemburu Kota Malang, yaitu Penerimaan Siswa Baru dan Pengadaan guru (terutama SD).
Di Kota Malang, masih banyak kalangan birokrasi yang ingin anak atau keponakan masuk ke sekolah negeri dengan cara lewat pintu belakang. Sementara secara akademik, kemampuan anak tersebut tidak memenuhi syarat. Kedua, perihal kekurangan guru, namun Pemerintah setempat belum mau membuka pintu untuk memenuhi kebututuhan guru. Sementara anggaran ada.

Bagikan:

Tags

Related Post

Leave a Comment